Minggu, 18 April 2010
Dan malam, hanyalah selimut kelam, sebuah siluet di balik tirai mimpi – di atas gelak tawa dalam riang, atau isak tangis kala nestapa. Lalu ku bertanya, untuk apa kukenang semua canda dan sedu sedan ini? Mengetuk pintu kenangan, sambil mencari sedikit celah harap. Ah...sebenarnya siapa yang peduli?
Lalu tak ada jawab di dalam sana, hanya ada hawa dingin menjalar ujung jemari hingga merasuki raga, mengasin bersama ingatan yang kepayahan tentang sebuah keberadaan semu, atau tepatnya ketiadaan yang nyata.
Lingkar kehidupan ini layaknya seperti sebuah labirin, yang mengukir tentang jejak sejarah berulang. Guratan surat di tangan, mungkin hanyalah skenario kehidupan yang tertinggal pada masa yang fana.
Bahwa kumparan waktu ini hanya berputar searah tanpa pernah mau ambil tahu tentang hal-hal yang tak selesai, ataupun sebaris makna dialog yang terlewat untuk di baca.
Akhirnya, malam ini dalam genang kenang air mata, dengan sepenuh kesadaran, kupastikan dalam hati bahwa aku, kita, sebagai pelaku tetap di atas pentas lakon yang pasti tak luput berkisah tentang luka.
Bandung 23 Maret 2010
*merombak sebuah puisi setahun yang lalu.