Rabu, 28 April 2010

Haiku - Rindu

-Ambigu Rindu-

langit kelabu
gerimis jatuh luruh
ambigu rindu

seribu kenangan menikam ufuk pilu

======

-Tiga Jejak Rindu-

lembayung senja
di ufuk cakrawala
hasratku rindu

pada satu jumpa kukecup semoga


======

terik mengubun
tanah kerontang kering
pencinta rindu

empatperlima jejak jalangku terpahat

======

kelamnya hening
dini hari membayang
rindu menahun

seperlima jejak kepulangan untuk satu - HIDUP

Adanya (Kasih)


:dedicate to - tuan bait aksara yang jauh disana, (aku berterimahkasih pada Tuhan untuk semua ini, ada makna lebih dari yang kau tau)

Adamu, adalah gemerisik sunyi . Berbisik hembus katakata pada jiwa yang tak lagi tinggal diam mencatat jejak bayang nyata pada samsara fana


Adaku, catatan hening yang selalu menahun kerinduan di sepertiga malam. Setia menunggui ingatan seumur jantung yang berdetak .

Perjumpaan, mungkin hanyalah sebuah titik takdir. Menyapa ruang semu, paras maya, dalam melodia katakata yang terkadang tak sampai makna, tak sampai nalar - Bias.


Sekat senyap ,kemas setatap nanar mata antara keinginan dan kejujuran. Pun tetap akan berujung muara harap atau juga hasrat. Kau, aku, kita atau? meski ku tahu ringkih batin tersesat kusut adanya belantara nyata – tiada kupungkiri


Jika, percaya kau sebut arti di kening yang kau kecup asa, maka dalam ruang rindu biarkan kutampung sealiran kasih yang kusebut sayang. Rasa yang abstrak, tapi itulah kurasa keping kehidupan nyata yang ingin kubagi – untukmu, penanda jejak bahwa ini tak pernah maya adanya

: untuk semoga…

***

notes:


Kepercayaan memang tidak jatuh dari langit, tapi kepercayaan itu sebuah proses dan musti dipupuk.


Aku mau meminjam katakata dari Kak Sam (tepatnya dari kakaknya kak Sam, halah, beribet deh , begini (kurasa itu penggalam puisi) :
bahwa mempercayai seseorang itu
sama seperti menyerahkan pedang ke tangannya dan menaruh leher kita di pedang itu
-Jules Elisa Frits Lumankun (JEFL)-


tadinya, aku hanya berniat menggabungkan 2 puisi bersambung ^^, tapi sepertinya entah jadi puisi atau apa aku juga binun heheh. Yang pasti, memeram tulisan ini selama 2 hari cukup membuatku berfikir satu hal, apapun bentuk sebuah hubungan (teman, sahabat, pacar, atau keluarga) dan apapun medianya nyata atau maya, memang adanya tumbuh dari satu rasa percaya (meski percaya itu memiliki resiko tersendiri, tapi setidaknya kita tidak menjadi pengecut, karena telah mempercayai seseorang).


***
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu.
Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.

Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri.
Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.

Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih

Kasih tidak berkesudahan


Bandung, 29 April 2010 @Home - 2.24 AM

Selasa, 27 April 2010

celoteh siang : hatiku pilu

satu siang di jalanan kita Bandung:

Tak ada yang berubah banyak dari wujud kota ini, masih sama seperti dulu. Hiruk pikuk jalanan yang penuh kendaraan di siang hari, beragam warna angkot yang berbagai jurusan menunggu penumpang di hadapanku. Jalanan yang tak selebar ibu kota, dan nyanyian pengamen jalanan di setiap lampu merah. Tak ada yang yang membuat mataku terperanjat ataupun heran, masih sama dengan aroma jejak angin yang sama - kenangan.

Yang tetap sama adalah aku, caraku memandang wajah hari kota ini - letih. Dan ketika pandangan mataku mencoba meraup segala yang terlihat di jalanan yang sedang kususuri ini

Tuan, apa kau tau, dari pojokan kafe ini aku berlindung dari derasnya hujan yang mampir di kedua pulupuk mataku; tapi tidak membuat ku terlindung dari rasa sakit, pedih, perih yang masih tetap sama seakan tak lekang oleh buliran waktu. Mengapa terasa seperti ini? Tuan, kau tahu, seketika saja aku ingin berlari pulang dan menjauh dari jalanan ini. Bila mungkin, satu pelukan saja bisa membuatku merasa tenang.

:tapi itu hanya andai....


celoteh siang : mendung


kepada tuan,

jejak langitku begitu kelabu
tunggu sisa gerimis sematkan rindu

adakah kau terima?

Bandung, 27 April 2010, sent to somewhere @ : 14:01:41
(celoteh siang yang ge-je heheheheh ^^v)

Minggu, 18 April 2010

teruntuk waktu


teruntuk waktu,
semakin menua pedal ini kukayuh
membayang jejak , jalan ambigu
:jeruji sunyi

jika,
kumpar searah , tiada
lepas layang hilang
ingin kukembalikan
segala ingat
:kepada HIDUP

Adanya


adamu, adalah semu
laman tatap jiwa
catat aksara

adaku, timpang rindu
mimpi satu sisi
sajak patah

adanya kita, senyap
raung batin, ruang kosong
berantah jika
setatap saja
adalah jawab

.......

hanya berandai, tanpa pupus harap
di kening, cukup aku ukir
percaya

tanda mata

sesak hanya risalah
dan rindu adalah resah
desah kisah, ratap
sempurna luka
cabik terindah
tanda mata
: hidup

Pasti Terluka

Dan malam, hanyalah selimut kelam, sebuah siluet di balik tirai mimpi – di atas gelak tawa dalam riang, atau isak tangis kala nestapa. Lalu ku bertanya, untuk apa kukenang semua canda dan sedu sedan ini? Mengetuk pintu kenangan, sambil mencari sedikit celah harap. Ah...sebenarnya siapa yang peduli?

Lalu tak ada jawab di dalam sana, hanya ada hawa dingin menjalar ujung jemari hingga merasuki raga, mengasin bersama ingatan yang kepayahan tentang sebuah keberadaan semu, atau tepatnya ketiadaan yang nyata.

Lingkar kehidupan ini layaknya seperti sebuah labirin, yang mengukir tentang jejak sejarah berulang. Guratan surat di tangan, mungkin hanyalah skenario kehidupan yang tertinggal pada masa yang fana.

Bahwa kumparan waktu ini hanya berputar searah tanpa pernah mau ambil tahu tentang hal-hal yang tak selesai, ataupun sebaris makna dialog yang terlewat untuk di baca.

Akhirnya, malam ini dalam genang kenang air mata, dengan sepenuh kesadaran, kupastikan dalam hati bahwa aku, kita, sebagai pelaku tetap di atas pentas lakon yang pasti tak luput berkisah tentang luka.

Bandung 23 Maret 2010

*merombak sebuah puisi setahun yang lalu.


menunggu pagi


Apa yang terjadi dengan hatiku, ku masih disini menunggu pagi. Seakan letih tak menggangguku , ku masih terjaga menunggu pagi…..

......

aku, terjaga sepi
menunggu ujung bila penantian malam.

Lalu haruskan kau pertanyakan, hingga aku kebingungan menghabiskan sisa sepertiga malamku kali ini? Dialog-dialog menunggu pagi, yang kubaca berulang. Kita yang mengendapkan tanah hening, larut utuh bersama senyawa senyumku dalam lembar tatap matamu yang tetap sama tak bergeming.

Bila semua kemungkinan itu tetap membuahkan kejujuran, lalu percayaku akan keinginan dalam diri yang terus bergelut dengan logika yang hendak merapal mantra buah kata “kenapa”.
Sementara, setiap hal tentangmu, terus berdentang pecah di hening di dini hari, sepi.

Katamu "bila kubelah hatimu saat ini, apa yang akan aku temukan?”

.....

Entah….kapan, malam berhenti, temani aku masih menunggu pagi…pagi…

Seakan, aku menepis segala letih. Tanggalkan semua nalar yang sedikit tersisa di balik bilik kenangan yang mulai menggalkan aku perlahan – mungkin mereka bosan menghantuiku.

Pecah sepi….
Dalam hati apa yang harus kuterjemahkan ?
untukmu….

*dan kali ini, yang memberikan jejak aksara bait kata lain dalam catatanku. Apapun itu, biar itu karam di benak terdalam. Jangan titipkan semata luka untuk sebuah goresan yang telah kita buat (yang ada biar adanya tetap ada....hatiku akan tetap sama, meski samar)

*dan pinjem lagunya peterpan

keinginan atau kejujuran

Ingin ku titip pada hujan berlembar memoar lembar catatan yang semakin kuning, kisah yang tak seharusnya kubagi.

Alirkan jejak pupus, liris rerintik atap raga yang terlalu letih berpeluh butiran rindu tak sampai makna , tak sampai nalar.

Perlahan, ada yang mengeja barisan aksara pada dua bidang ruang jiwa yang kosong, pemuja sepi. Lalu ada senyap yang pecah dalam eksistensi hasrat yang meminta hak dan keberadaannya, meski sesat, meski tabu, tak seharusnya seperti itu.

Setatap mata yang tak sengaja kusampaikan

Katamu "matamu sayu, keinginan atau kejujuran? entah..."

Kataku dalam hati "apa beda dari keduanya, akan tetap sama tersandung pada nyata"

Yang menetes atas separuh jiwa, tergilas sepi
: dalam bungkam , mungkin aku hanya selir hati

Petualangan yang entah, gelap bukan? entah...

Sekiranya Memang Aku Datang

“kau tetap penghujung malam yang menitiskan semata cemas pada kepulangan rindu yang entah”

Akankah tetap sama, seperti pertama kali kita berjumpa. Kala sepenuh sajak yang menitipkan asa, maki, ataupun cinta yang kita kisahkan dalam berlembar catatan semu.

Jejak rindu yang kutepis berhari lalu, menorehkan nestapa di hati yang dahulu ingin selalu kubawa ke peraduanku kala peluh tiada tempat lagi untuk mengadu. Lalu aku menistakan jejak jalangku diatasnya, yang tiada berakhir di perih hingga nyeri ulu hati ini sekali lagi dan lagi.

Sekiranya memang aku datang ketika pandanganku begitu gelap. Ketika sedingin caci menghujam harga mati dikeningku yang tak mau lagi ambil tahu, aku memang tak mampu lagi melengkapkan waktu dalam ketiadaan.
Maka akulah si ilalang dungu

mari...

Mari, temani aku disini, memandang sesimpul senyum dari langit yang tanpa pesan tanpa kesan dalam, hanya buram.

Mari, duduk sini dekatku, temani aku membaca rindu yang gigil di tepi sejatinya malam tanpa secangkir kopi sebagai penanda jejak .

Mari, jangan jemu terjaga bersamaku, biar saja senyap melumat mimpi yang selalu hadirkan bayangan palsu dan tak seharusnya hadir.

Tetaplah di sini dan jangan pergi, biar saja hening merapal mantra menjadi katakata yang tak bisa lagi terucap di bibir yang gamang untuk mengucap selamat tinggal ataupun sesal.

Kubur Kisah


hari semakin menua di perantaraan waktu
mengubur kisah demi kisah
dalam ruang rindu yang masih sama hangat
kala tawa, berselang tangis
kala ego berulang
lalu, berjabat tangan dengan dusta

seribu tanya, mengawang rupa
ketika kau tak kunjung datang
pun waktu, titipkan sang mungkin
yang lahir dari segala dongeng sebelum tidur
tentang keajaiban dan hidup bahagia selamanya

kita, masih, merapal mimpi
yang terasing di seberang nyata
walau kita tahu semuanya semu
menghalalkannya hanyalah
;pilihan
memberi makna lebih dari sekedar dosa

mari, nisankan saja semuanya
marah, benci , dan kepedihan
berikut rindu dendam
terakhir,
cinta

stuck in my head

Hujan yang turun semalam, mengantarkan hawa dingin yang membekukan ujungujung jemari. Menarik ingatan tentang sebuah catatan kelam dan aku menggigil mendekap kenangan dengan sepenuh luka yang semakin perih ketika air mata tertumpah diatasnya.

Bisakah aku meninggalkan ini semua , tanpa harus melupakannya ?

Jika kini aku berada diantara masa lalu dan masa kini, maukah kau menolongku? Tolong tunjukan dimana letak masa depan itu berada? Karena aku tak ingin larut, terpuruk selalu diantaranya. Aku tak ingin kenangan jadi sebuah rantai kehidupan yang siasia meski memang tak selalu bermakna untuk terus dipegang.

i’m tired
everything seems like stuck in my head

hampa



Aku tidak pernah paham mengapa takdir begitu cemburu pada kita yang pernah berjumpa lewat perantaraan baitbait sajak dan menitipkan asa yang sama satu sama lain. Tidak juga ku mengerti apa artinya perjumpaan bila akhirnya menitipkan semata leluka yang pada akhirnya pupus teredam larut mengasin di perantaraan jarak.

“cinta, rasanya waktu itu sepertu hantu yang memburu kita hingga berlarian ke arah yang berbeda”

Seperti mimpi yang kehilangan satu sisi, aku mencoba mengadu sebentuk pemahaman tentang kata ”keyakinan” yang kerap kali kau ucapkan sebagai tanya ketika punggungku berlalu dari hadapanmu. Kau tahu, melafalkannya berulang hanya membuat rongga dada ku semakin sempit dan sesak, manakala kesadaranku menyentuh dinding ruang hati dan di sana aku temukan hanya hampa dalam ketiadaan yang begitu kosong

“seyakin kurasakan segenap asaku untuk menujumu, seyakin itu pula ketidakmungkinan mewujud rupanya dalam bahasa keyakinan itu sendiri”

Salam Kegelapan


kepada para pengelana malam kusampaikan salam kegelapan
pada nanar hati yang mencintai dekapan kelam

kebisuan mengirimkan kabarnya dari jeruji hening
hingga hampa yang tak kuasa menahan setajam caci

begitu dingin

Teruntuk Angkuh

tertunduk wajah pasi dalam remang cahaya
hanya menghidu aroma getir yang semakin menusuk
pada seraut geram yang membuahi amarah dan tanda
: kartu mati

tunggu secawan anggur tertumpah ruah
hingga angkuh menawar kemabukan yang ternama itu
sebagai tanda

: harga di keningku menjadi tiada!


rindu itu seperti kesunyian yang berbicara
tersembunyi dari balik syarafsyaraf ingatan

rindu itu aliran yang bermuara entah
pada hela nafas yang tergugu satuan masa

kemudian hanya bisa kembali berpulang
sebagai airmata

:doa

;;